BONETERKINI.COM,- Merujuk defenisi persekusi, sebenarnya
sangat dekat dengan kegiatan kita dalam bersosial media. Terkhusus di Kabupaten
Bone yang menjadi salah satu dari 11 Kabupaten/Kota yang akan berkompetisi di kontestasi
Pilkada 2018 di Sulawesi Selatan. Mempertajam hasil survei APJII (Assosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengenai penggunaan media sosial dalam
ragam aktivitas, mempublikasikan angka 75,6% atau setara 100,3 juta pengguna
media sosial yang setuju memanfaatkan media sosial untuk berpolitik (survei
2016).
Persekusi yang marak belakangan ini adalah
akibat dari penggunaan media sosial yang kurang dewasa. Melampiaskan kekesalan
dan atau perasaan hati yang berlebihan dengan keadaan emosi ke media sosial.
Tidak memperkirakan akibat dari apa yang ditampilkannya dalam status atau
komentar media sosial ini. Atau dengan sengaja menampilkan status dan komentar
dengan tujuan pribadi atau kelompok yang menguntungkannya, bisa juga untuk
menyerang pribadi dan kelompok yang merugikannya.
Memperhatikan hasil survei perilaku media
sosial oleh APJII, sangat memungkinkan untuk memanfaatkan situasi politik dalam
bermedia sosial. Menggiring isu agama dalam bermedia sosial, juga “diiya”kan
APJII, bahwa ada sekitar 108,6 juta pengguna media sosial di Indonesia yang
setuju menggunakan media sosial untuk kepentingan berdakwah agama, sekitar
81,9%. Membenturkan agama dan politik ini dalam bermedia sosial menjadikan
potensi persekusi akan bermunculan di banyak daerah. Daerah yang berpotensi
adalah daerah yang ada massa organisasi agamanya dan pengguna media sosial di
daerah tersebut kurang dewasa dalam memanfaatkan media sosial.
Tempat teratas dalam perilaku media sosial di
Survei APJII dalam ragam aktivitas yakni untuk “berbagi informasi” (97,5%
setara 129,3 juta pengguna), juga “Sosialisasi Kebijakan Pemerintah” yakni (
90,4% setara 119,9 juta pengguna). Untuk sosialisasi kebijakan adalah bagian
yang memungkinkan aparatur baik ASN ataupun TNI dan POLRI memanfaatkan media
sosial ini. Khusus peringkat pertama yakni “berbagi informasi” kalangan media akan
banyak memanfaatkan potensi ini dengan baik dan ada juga sebahagian
memanfaatkan untuk penggiringan isu.
Pemetaan perilaku bermedia sosial betul
nyatanya memudahkan terjadinya “persekusi” dengan menggunakan media sosial
seperti yang terjadi saat ini, dan memungkinkan masih ada kejadian “persekusi”
yang tidak atau belum sempat terpublikasi, atau sengaja dilakukan penggiringan
isu, bahkan ada disekitar kita. Yang berperan memicu isu dalam bermedia sosial
yakni, pemerintah, swasta, lembaga sosial kemasayarakatan dan media. Dari
kajian administrasi publik empat unsur ini berpengaruh dalam menentukan arah
prilaku masyarakat, dan bila salah satu diantaranya tidak berkolaborasi maka
potensi konflik memungkinkan terjadi termasuk memicu terjadinya “persekusi”.
Mengolok-olok di media sosial adalah
prilaku yang kurang dewasa, berargumen dan saling komentar tanpa berfikir
akibat dari komentar yang diposting di media sosial juga bagian dari kurang
dewasanya dalam penggunaan media sosial. Dampaknya akan memudahkan penggiringan
isu dari pihak-pihak yang akan memenfaatkan situasi, utamanya situasi politik
yang menggiring semua hal untuk memudahkan pencapaian tujuan pribadi atau
kelompoknya. Tanpa harus berfikir tentang kebersamaan, etika, budaya,
nilai-nilai agama, sopan santun, kekeluargaan, moral maupun pancasila kita.
Bila kedewasaan diukur dengan perkataan dan
perbuatan yang baik dalam budaya Bugis Bone
dikenal dengan “ada na gau", maka perlu ditambahkan yakni “bermedia
sosial” atau saat ini dikenal dengan sebutan perilaku media sosial. Maka dalam
membentuk karakter masa kini tidak lagi hanya memperhatikan cara berprilaku dan
cara bertutur kata tapi juga cara menggunakan media sosial yang baik, mungkin
usulan baik untuk dunia pendidikan.
Dewasa dalam memposting status atau
komentar yang tidak memprovokatif yang bisa dijadikan alat provokasi. Tuntutan
kedewasaan ini tidak hanya untuk masyarakat tapi lebih kepenggerak masyarakat
ini yakni, pemerintah, swasta, lembaga sosial masyarakt dan juga media. Dalam
takaran Kabupaten Bone lebih ke Pemerintahan Daerah dan ASN yang dalam jalur
dekonsentrasi, aparat keamanan TNI dan POLRI, Lembaga Sosial Masarakat dan
Lemaga Kepemudaan, juga teman-teman media, baik cetak, elektronik maupun media
online.
Latah akan penggunaan media sosial akan
menjadi bibit unggul dalam penggunaan media sosial yang provokatif dan bisa
memicu tindakan “persekusi”, terlebih ke penggerak masyarakat (pemerintahan
daerah, swasta, LSM dan Media) yang baru saja menggunakan media sosial, yang
kebutuhan akan eksistensi diri sangat tinggi. Kurang percaya diri, akan potensi
pribadi akan berusaha keras terlihat eksis di media sosial selain mereka yang
punya kepentingan dalam bermedia sosial.
Untuk mencegah terjadinya “persekusi” dari
dampak media sosial di Kabupaten Bone baiknya pendewasaan penggunaan media sosial sering digaungkan,
utamanya internal penggerak masyarakat, kiranya masyarakat bisa menyaksikan
diskusi-diskusi yang membuahkan informasi yang membangun.
Persekusi akibat media sosial bisa
dibungkan juga dengan media sosial, yakni mendewasakan diri dalam penggunaanya.
Potensi persekusi akan mudah digiring dengan isu politik, mengingat baru saja
dilaksanakannya Pilkada serentak tahun 2017 ini, kemudian digiring untuk
persiapan Pilkada serentak Tahun 2018 dan dinasionalkan isunya untuk Pilpres
dan Pemilu 2019. Dewasa menggunakan media sosial yakni tanggap menyikapi
penggiringan isu politik termasuk yang memanfaatkan agama dalam pergerakannya.
Penulis: M. Awaluddin A.
Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik
Universitas Negeri Makassar
Kepakaran Pengambilan Keputusan Berbasis Elektronik.
Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik
Universitas Negeri Makassar
Kepakaran Pengambilan Keputusan Berbasis Elektronik.