Opini : Film Silariang Dan Narasi Bugis-Makassar

Opini : Film Silariang Dan Narasi Bugis-Makassar

Jumat, 19 Januari 2018,


BONETERKINI.COM,-- Film Silariang Cinta Yang (Tak) Direstui, adalah film tentang kisah cinta, tetapi  sangat kental dengan pesan-pesan budaya. Dua model digunakan menyampaikan pesan budaya. Pertama melalui penandaan oposisi biner, kedua melalui penandaan mitos. Dua cara ini memudahkan penonton menangkap pesan-pesan dalam film. 

Konsep opisisi biner diperkenalkan oleh Claude Levi-Strauss (antropolog-strukturlis), dengan membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B. Dalam sistem oposisi biner, hanya ada dua tanda,  keduanya memiliki makna apabila beroposisi dengan yang lain. 

Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain. Beberapa contoh penanda realitas yang bertentangan dalam film silariang, antara lain : perkotaan-pedesaan;  bangsawan-orang biasa;  cinta sejati-cinta materi;  tradisional-modern;   kehadiran-katidakhadiran; kehidupan-kematian, dsb.  Komfromi dua realitas yang berlawanan, muncul diakhir cerita dengan memunculkan penanda anomalius,  dengan narasi moralitas keagaamaan, akhalakul karimah, kesabaran (ininnawa sabbarakko), permaafan (penyerahan badik, pencucian kaki ibunda),  dan sebagainya.

Sementara penandaan mitos dibangun lewat narasi Silariang sendiri. Penandaan mitos menurut Roland Barthes (pemikir semiotika post-strukturalis),mempercayai bahwa relasi antara penanda dan petanda, adalah tidak semata-mata bersifat arbitrer, sebagaimana pemikiran pendahulunya Ferdinand de Saussure.  Penanda dan petanda memiliki hubungan bersifat historis, yang disebutnya sebagai penanda mitos. Barthes membangun dua bentuk penandaan, yang pertama, adalah penanda denotasi yang mengacu pada makna tataran pertama, dan kedua adalah penanda konotasi yang mengacu pada makna tataran kedua. Makna tataran kedua, bersifat historis,  mengandung mitos, dan memiliki operasi ideologi. 

Makna tataran pertama  “silariang” adalah sebuah bentuk perkawinan yang meninggalkan keluarga atau rumah karena tidak direstui.  Bagi orang yang tak memiliki kaitan historis dengan tradisi silariang, mungkin dia hanya menerima makna tataran pertama tadi. Pemunculan penanda Silariang, sebenarnya bertugas mengungkap makna tataran kedua, tentang sejarah, nilai budaya Bugis Makassar, seperti  siri na pesse (siri na pacce). Berfungsi mengungkap realitas dibalik silariang, tentang tragedi, pertumpahan darah, resiko kematian sekaligus juga rasa kemanusiaan dan kebijaksanaan.  Penandaan mitos pada film ini juga berhasil membuka selubung ideologis, dalam konteks relasi kuasa antara  kelas bangsawan dan pemilik modal, yang mungkin sampai hari ini terus mengalami tegangan dan pergeseran di masyarakat Bugis Makassar .

Penulis   : Andi Ilham Paulangi
Editor    : Anugerah

TerPopuler