BONETERKINI.COM, Makassar - Sebuah aliansi yang terdiri dari puluhan komunitas budaya, perwakilan adat, akademisi, mahasiswa, dan pegiat media dari seluruh nusantara secara resmi menyatakan sikap menolak kebijakan pemindahan artefak budaya ke fasilitas terpusat di Cibinong oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sikap tegas ini merupakan hasil dari “Diskusi Tertutup Lintas Komunitas” yang diinisiasi oleh Diskusi yang digelar secara daring ini menjadi wadah konsolidasi strategis untuk merespons kebijakan yang dinilai berjalan secara sepihak, tidak transparan, dan berpotensi merusak ekosistem kebudayaan lokal di berbagai daerah di Indonesia.
Sejak pertengahan tahun 2022, BRIN memulai kebijakan pemindahan artefak dengan dalih efisiensi, tata kelola koleksi ilmiah, dan rencana pembangunan pusat riset arkeologi bertaraf internasional. Namun, menurut para peserta diskusi, niat baik tersebut tidak diiringi dengan tata kelola yang baik.
“Diskusi ini dibuka untuk membangun dialog dua arah yang selama ini tidak pernah disediakan oleh pemerintah. Harapan kami adalah lahirnya kesepahaman bersama dan rumusan tuntutan nasional untuk mengawal isu ini”. ujar Aman saat membuka acara.
Faktanya, kata Aman kebijakan ini dijalankan tanpa Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas, minim sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat, serta mengabaikan risiko krusial.
Rizal, salah seorang peserta, menegaskan bahwa langkah BRIN ini berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Kebijakan BRIN ini melanggar UUD Pasal 32, UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya, dan UU Pemajuan Kebudayaan. Aturan internal lembaga tidak boleh menabrak undang-undang,” tegasnya.Diskusi ini memperlihatkan bahwa penolakan tidak hanya datang dari satu wilayah, melainkan merupakan kekhawatiran kolektif dari berbagai penjuru nusantara.
Zakarias Horota dari Dewan Adat Papua Wilayah III Doberay menyuarakan perspektif filosofis dan hakikat warisan budaya.
“Artefak seharusnya tetap berada di daerahnya, sesuai prinsip ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Memindahkannya sama dengan mencabut nyawa dan identitas dari tanah leluhur. Pemusatan justru membuka potensi sabotase terhadap warisan lokal,” ujarnya dengan tegas.
Kekhawatiran akan hilangnya fungsi sosial artefak juga diungkapkan oleh Eposkalis dari Wakatobi, yang memberikan contoh nyata bagaimana situs dan peninggalan budaya masih digunakan oleh masyarakat dalam ritual adat.
Sementara itu, Bli Wayan dari Yayasan Dharma Kawisastra, Bali, menyoroti risiko fisik dan sejarah kelam pengelolaan artefak.
“Artefak ini rapuh dan rentan rusak saat dipindahkan. Pengalaman di masa lalu juga menunjukkan ada kasus di mana artefak asli hilang, berubah, atau bahkan digantikan dengan replika setelah dibawa ke pusat,” ungkapnya.
Dari kalangan media, Ona Mariani dari Readtimes.id mengkritisi minimnya liputan dan peran pasif lembaga akademik.
“Informasi pemindahan ini sangat minim, tahu-tahu sudah mau jalan. Isu ini kalah oleh berita lain. Peran kampus seperti UNHAS juga sangat minim, sehingga isu ini kurang mendapat legitimasi akademik yang kuat,” jelasnya.
Aliansi ini menegaskan bahwa gerakan mereka tidak berhenti pada penolakan, melainkan menawarkan sebuah visi alternatif untuk tata kelola warisan budaya yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dadang dari APJP Makassar memaparkan tahapan perlawanan yang disepakati bersama yakni Konsolidasi dan sepemahaman membentuk aliansi nasional yang solid.
Kemudian, keterlibatan politik, yakni dengan mendorong isu ini ke level DPR dan pemerintah daerah. Lalu upaya Hukum dan Advokasi yakni menggunakan jalur yuridis untuk menantang kebijakan.
Selanjutnya adalah Visi Alternatif yakni mengusulkan sistem pengelolaan terdesentralisasi, puncak dari visi alternatif ini adalah gagasan
“Alih-alih menarik semua ke satu titik, mengapa tidak memperkuat museum dan membangun pusat-pusat unggulan konservasi di setiap daerah? Ini akan menjaga konteks artefak sekaligus memberdayakan sumber daya manusia lokal,” tambah Stevan Rifaldi dari Pompessi Luwu.
Tuntutan Awal Aliansi Penjaga Jejak Peradaban (AJP) Sebagai hasil konkret dari diskusi, aliansi merumuskan draf tuntutan awal yang akan diperjuangkan bersama antara lain.
Menolak secara tegas pemindahan artefak nusantara ke Cibinong, kemudian menuntut pengembalian seluruh artefak ke daerah asalnya, disertai pembangunan fasilitas yang layak.
Lalu mendorong desentralisasi pengelolaan warisan budaya yang berbasis komunitas dan daerah, serta menuntut transparansi penuh atas data dan registrasi nasional artefak.
Selanjutnya, melarang keras komodifikasi artefak untuk kepentingan finansial atau aset negara dan mengusulkan reformasi total atau pembubaran BRIN terkait mandatnya dalam urusan kebudayaan.
Langkah selanjutnya, aliansi akan menyempurnakan rumusan tuntutan ini dan memulai kampanye publik yang lebih luas untuk memastikan suara dari daerah didengar oleh para pengambil kebijakan di tingkat nasional.
(Sujitno)