Air Mata Sumatera dan Alarm bagi DAS Walanae: Sebuah Refleksi Ekologis

Oleh : Ir. Andi Hendra Setiawan, S.Pt., M.Si., IPM (Founder Rumen Institute)

BONETERKINI.COM - Indonesia kembali berduka. Bencana hidrometeorologi banjir bandang dan longsor, dan yang menghantam wilayah Sumatera belakangan ini menyisakan trauma mendalam. Visual batang-batang kayu besar yang hanyut menghantam pemukiman, lumpur pekat yang menimbun sawah, dan hilangnya nyawa manusia adalah potret suram dari kegagalan kita hidup berdampingan dengan alam. Namun, jika kita melihat peristiwa ini hanya sebagai "amukan cuaca ekstrem", ada yang perlu diluruskan dari cara pandang kita. Apa yang terjadi di Sumatera adalah konsekuensi logis dari akumulasi kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah berlangsung puluhan tahun.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa lebih dari 90% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Di Sumatera, intensitas hujan yang tinggi terkadang mencapai lebih dari 100 milimeter per hari memang menjadi pemicu (trigger). Namun, faktor fundamentalnya adalah daya dukung lingkungan yang kritis. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beberapa tahun terakhir menunjukkan jutaan hektare lahan di Indonesia berstatus kritis dan sangat kritis, termasuk di wilayah hulu-hulu sungai besar di Sumatera.

​Ketika tutupan hutan di hulu hilang akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur atau tambang ilegal, tanah kehilangan kemampuan intersepsi dan infiltrasi. Air hujan tidak lagi meresap ke dalam akuifer tanah, melainkan langsung menjadi aliran permukaan (surface run-off) dengan kecepatan destruktif. Perbandingan debit air maksimum saat hujan dan minimum saat kemarau menjadi sangat timpang. Sungai menjadi kering  saat kemarau, namun berubah menjadi monster pembunuh saat hujan. Inilah fenomena yang kita saksikan di Sumatera, sungai tak lagi mampu menampung volume air karena sedimentasi parah dan hilangnya daerah resapan.

Lantas, bagaimana posisi Kabupaten Bone dalam peta kerawanan ini? Kita tidak boleh naif merasa aman. Secara geografis dan hidrologis, Bone memiliki karakteristik yang mirip dengan wilayah-wilayah rawan di Sumatera. Kabupaten Bone dilalui oleh DAS Walanae, salah satu sistem sungai terbesar di Sulawesi Selatan.

​Kita harus melihat fakta di lapangan, bahwa beberapa kecamatan di Bone yang berada di bantaran Sungai Walanae dan anak-anak sungainya kerap menjadi langganan banjir tahunan. Data dari BPBD Sulawesi Selatan kerap menempatkan Bone sebagai salah satu daerah dengan indeks risiko bencana banjir yang tinggi. Jika terjadi kerusakan di wilayah hulu, pembukaan lahan di kemiringan curam, serta pendangkalan sungai akibat sedimentasi, maka akan menjadi bom waktu. Jika curah hujan ekstrem seperti di Sumatera terjadi di dan dalam era krisis iklim (climate change), apakah DAS Walanae sanggup menampungnya? Ataukah kita akan menyaksikan tragedi serupa?

​Menghadapi ancaman ini, pembangunan fisik seperti tanggul beton saja tidak akan cukup. Kita membutuhkan pemulihan ekologis berbasis masyarakat. Sebuah antitesis terhadap kerusakan lingkungan melalui pendekatan pengelolaan bentang lahan cerdas iklim (climate-smart landscape). Pemerintah Kabupaten Bone, ICRAF, dan Pemerintah Kanada bekerjasama melalui Program Land4Lives telah menyusun Perencanaan Tata Kelola Bentang Lahan yang  tidak hanya mengajarkan petani menanam untuk profit, tetapi menerapkan sistem agroforestri yang mengembalikan fungsi hidrologis tanah. Dengan mengintegrasikan pepohonan ke dalam lahan pertanian, struktur tanah di hulu Bone diperbaiki sehingga mampu kembali menyerap air, sekaligus memberikan penghidupan ekonomi bagi petani tanpa harus merusak hutan tersisa.

Bencana di Sumatera adalah "kuliah lapangan" yang mahal bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa air selalu mencari jalannya sendiri, dan ketika kita merebut ruang air di hulu, ia akan merebut ruang hidup kita di hilir.

​Kita tidak bisa menghentikan hujan, itu adalah kuasa Tuhan. Tapi kita punya kuasa penuh untuk menjaga tanah agar hujan menjadi berkah, bukan musibah. Adalah tugas kita menjaga agar Walanae tidak mengamuk dan membawa air mata seperti di Sumatera. Mari merawat hulu, menjaga DAS, dan memastikan setiap jengkal tanah di Bone dikelola dengan kaidah konservasi yang benar.

Komentar

Berita Terkini