Menjadi Petugas KPPS : sebuah catatan pengalaman

Menjadi Petugas KPPS : sebuah catatan pengalaman

Rabu, 24 April 2019,


BONETERKIN.COM,WATAMPONE-Menjadi anggota KPPS hanya berawal dari rasa penasaran saja. Mengapa banyak dari petugas-petugas KPPS PILKADA 2018 lalu yang enggan kembali menjabat sebagai anggota KPPS di PILPRES dan PILEG 2019 sekarang. Mereka beralasan honor yang mereka terima tidak sesuai dengan beratnya pekerjaan dan tanggung jawab yang diembankan. 

Padahal untuk sehari kerja, honor Rp.500.000 (pajak berlaku) itu cukup lumayan. Pikir saya waktu itu. Memangnya seberat apa sih kerjanya?. Sekedar mengobati rasa penasaran, saya terima saja tawaran menjadi anggota. Begini…

Beberapa minggu sebelum hari pelaksanaan, tugas pertama kami adalah mendata kembali warga yang terdaftar di data DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang kami terima dari pihak KPU Desa. Diselingi dengan beberapa kali rapat yang membosankan, yang pembahasannya itu-itu saja. Nyatanya banyak dari warga kami yang tidak tercantumkan namanya di DPT. 

Ketika pembagian kartu panggilan dilakukan, masyarakat yang tak tahu menahu, asyik saja mengkomplain dan menyalahkan kami karena tidak mendapatkan kartu panggilan, padahal tugas kami hanya mendata ulang saja. Untungnya ada kebijakan baru bahwa warga yang tidak terdaftar di DPT tetap bisa menggunakan hak suaranya dengan berbekal E-KTP saja. 

Selain itu, banyaknya warga yang memiliki perbedaan antara nama panggilan dan nama asli yang tertera di DPT itu cukup menyulitkan kami. Semisal ketika kami mencari warga bernama Siti Sa’adah yang membuat kami lelah keliling kampung namun tak kunjung ditemukan. Setelah berkonsultasi dengan Pak RT ternyata itu tetangga sebelah saya yang dikenal Ceu Eded. Kan.. anjrit sekali pemirsah.

Logistik perlengkapan pemilu baru akan tiba sehari sebelum hari pelaksanaan. Pihak KPU Desa menjanjikan akan menyerahkan tepat pukul 15.00 sore. Kami yang melakukan persiapan TPS dari pagi hari menjaga TPS secara bergiliran. Sekian lama menunggu, logistik baru tiba menjelang maghrib. Kami memaklumi karena waktu itu cuaca sedang hujan deras. Susah payahlah kami mengangkut lima kotak kardus ditengah guyuran hujan. 

Sebagai petugas pemula, saya mengira kotak kardus berisi perlengkapan pemilu itu bisa dibuka langsung untuk kami cek isinya, ditakutkan ada perlengkapan yang kurang. Ternyata ia hanya boleh dibuka ketika hari pelaksanaan tepat pukul 07.00 pagi setelah pembacaan sumpah. What?. 

Jam 06.30 pagi warga yang diburu pekerjaan sudah mulai berdatangan ke TPS. Setelah pembacaan sumpah pukul 07.00, dibukalah gembok dari lima kotak suara itu disaksikan langsung oleh saksi utusan partai dan Panwaslu. Kemudian kami mengecek kelengkapannya dibawah ocehan warga yang mulai tidak sabar menanti. Alangkah indahnya, ketika kami menghitung jumlah surat suara tak sesuai dengan jumlah DPT di TPS kami. Bergegaslah ketua KPPS menenangkan kami dan menelpon pihak KPU Desa untuk mendapat tambahan surat suara.

Proses pemungutan suara berjalan lancar tanpa ada kendala yang berarti dengan antusiasme warga yang cukup tinggi. 

Setelah pemungutan selesai rupanya terjadi kesalahan pencatatan data warga yang menggunakan hal pilihnya dengan E-KTP. Kami mencatatnya pada formulir Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), seharusnya mereka dicatat pada formulir Daftar Pemilih Khusus (DPK). Ditulis ulanglah data-data keliru itu dengan cara manual. Tambah anjrit sajah.

Tanpa istirahat, pukul 13.00 kami langsung membuka kotak suara pertama. Sebelumnya, kami mencocokkan dulu jumlah surat suara dan data pemilih yang hadir. Sejuta topan badai !. jumlah surat suara dan catatan kehadiran selisih satu dengan data. Dihitung kembali jumlah surat suaranya tetap saja kurang. Sejenak seisi ruangan terdiam. Setelah cek en ricek, rupanya kesalahan terletak pada proses pencatatan manual. Hwasssuuu.. 

Berlanjut pada proses perhitungan jumlah suara. Saksi-saksi Parpol sudah siap siaga mengawal perolehan jumlah suara jagoannya. Ketika jagoannya mendapatkan suara, dengan lantang ia berteriak “SAHHH !”. Jika lawannya yang mendapat suara, dengan lesu ia berucap “saaaaah”. Proses ini berlangsung tidak kurang dari dua jam lamanya untuk setiap satu kotak suara. Dilanjutkan pada proses rekapitulasi untuk dicocokkan kembali. Dari lima kotak suara, hanya satu kotak saja yang proses perhitungannya sehat wal afiyat. Selebihnya selalu saja terjadi selisih antara surat suara dan catatan, diselingi dengan umpatan-umpatan ringan yang menyayat hati. Hiks

Pukul 00.30 malam proses perhitungan lima kotak surat suara akhirnya rampung. Selesaikah tugas kami? Tidak semudah itu Ferguso. Rupanya, tugas berat lain menanti. Lima hasil rekapitulasi suara, baik PILPRES, DPR RI, DPD RI, DPRD Profinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus kami tulis ulang ke dalam format data salinan sebanyak sepuluh rangkap dengan ketebalan tiap rangkap kertas yang aduhai. Dengan mata pucat nan memerah, kami pacu kelihaian tangan kami dalam menulis dan menandatangani kertas sialan itu. Secara manual.. manual.. manual.. MANUAAAAALLL.

Sekitar jam 04.30 ketika adzan shubuh berkumandang, kami mulai mengemas data-data penting ke dalam amplop-amplop khusus dan harus diberi segel khusus pula. Setelah semua amplop terisi data-data yang sesuai, kami memasukkannya kedalam lima kotak kardus sesuai petunjuk buku panduan. Saksi-saksi partai beberapa sudah tertidur pulas dari sejak malam. Rupanya mereka menunggu kami menyelesaikan salinan data rekapitulasi perolehan suara partainya untuk mereka serahkan ke partai pengutusnya. 

Bahkan ada seorang saksi gadis yang menangis menahan lelah dan kesal karena menunggu hingga shubuh. Diperparah dengan orang tuanya datang ke TPS kami dengan marah-marah karena khawatir. Mungkin ia tak menyangka bahwa pekerjaannya seberat ini. 

Jam 07.00 pagi pekerjaan baru benar-benar selesai. Di TPS lain ada yang baru selesai sampai sore harinya. Sepertinya ini pertama kalinya saya merasakan kelelahan yang luar biasa karena suatu pekerjaan. Apalagi melihat dibeberapa media banyak dari para petugas KPPS masuk rumah sakit karena kelelahan. Yang lebih mengejutkan dilaporkan ada 19 orang petugas KPPS meregang nyawa setelah bertugas. 

Untuk uang yang tak lebih dari lima ratus ribu, kerja keras sebagai anggota KPPS sangatlah tidak sepadan. Menjadi petugas KPPS bukanlah sebuah profesi dadakan, tetapi itu adalah sebuah pengabdian kepada negara tercinta. Maka dari itu, saya menaruh penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh petugas KPPS di seluruh Nusantara. 

Salam hormat ! (Irwan May)

TerPopuler