TRANSITIVITAS TEKS DEBAT CALON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019

TRANSITIVITAS TEKS DEBAT CALON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019

Jumat, 17 Maret 2023,
Oleh:
Andi Henra Wijaya
Pengamat Pemilu


Debat capres merupakan salah satu kegiatan politik yang diselenggarakan oleh suatu komisi atau badan tertentu yang ditunjuk oleh suatu negara. Kegiatan ini sebagai bagian umum dari rangkaian tahapan pemilihan presiden di seluruh dunia. Seluruh negara yang memiliki sistem ketatanegaraan demokrasi presidensial melaksanakan debat calon presiden sebagai wahana mengenal dan mememahami visi–misi para calong presiden. Debat calon presiden memuat aktivitas adu argumen, pandangan, atau gagasan dalam membangun bangsa dan negara. Debat calon presiden bersifat politik, artinya debat sebagai wahana untuk mencapai kekuasaan. Jones dan Wareing (2007:63) mengutip pernyataan Orwell (1986) menyatakan bahwa bahasa politik dikonstruksikan untuk membuat dusta kedengarannya benar dan pembunuhan kedengarannya mulia, serta omong kosong kedengarannya meyakinkan. Artinya, representasi realitas dalam percakapan politik, seperti debat capres perlu perhatian serius untuk mengungkap kebenaran fakta di balik tuturannya. Apakah yang dinyatakan penutur memang nyata adanya atau sekadar janji-janji politik? 

FENOMENA DEBAT POLITIK CALON PRESIDEN

Debat calon presiden sebagai suatu kegiatan politik untuk mencapai kekuasaan tidak terlepas dari berbagai persoalan. Negara-negara maju yang menganut sistem demokrasi presidensial juga kerap mengahadapi persoalan. Seperti halnya pada perseteruan debat calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton dengan calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump pada tahun 2016 yang beradu argumen mengenai kebijakan perpajakan (Bhattarai,et.al., 2018), kekacauan politik presidensial di Libanon (Potter, 2016), konflik komunitas pada pemilihan gubernur di provinsi Lagos, Negria (Ajilore, 2015), pidato politik presiden Buhari sebagai respon kekisruhan parlemen di Nigeria (Koussouhon & Dossoumou, 2015), dan berbagai ihwal persoalan politik pemilihan presiden di Amerika Serikat yang kerap mengankat isu ras, kelompok atau komunitas, penanganan imigran, dan lain sebagainya (Benoit & Airne, 2005). Dari beberapa fenomena politik di berbagai wilayah di dunia, penelitian ini menjadikan isu debat politik calon presiden sebagai persoalan global untuk menangkal berkembangnya politik hitam, kampanye uang, dan perpecahan antargolongan, ras atau suku, dan agama.

Salah satu contoh penyelidikan fenomena debat politik di dunia, yakni pada pemilihan calon presiden di Indonesia pada tahun 2019. Calon presiden dari Koalisasi Merah Putih, Prabowo Subianto dan Koalisasi Indonesia Hebat, Joko Widodo saling beradu argumen atau gagasan mengenai kebijakan peningkatan ekonomi–kesejahteraan nasional dan politik luar negeri–ketahanan nasional. Penyelenggaran debat calon presiden di Indonesia pada awalnya dilakukan untuk menyonsong lahirnya reformasi pascaorde baru.   

Indonesia menjalani sistem pemerintahan demokratis mulai era reformasi pada tahun 1998-1999. Tahun 2002, para presidium beberapa lembaga di Indonesia yang memiliki peluang menjadi presiden diundang untuk melakukan adu gagasan politik untuk menyelematkan dan mempertahankan demokrasi era reformasi di Indonesia (Eriyanto, 2009). Inisiatif ini kemudian dijadikan sebagai momentum awal terselenggaranya debat calon presiden. Langkah konkret debat calon presiden mulai disaksiskan secara luas dan tebuka oleh masyarakat Indonesia pada pemilihan presiden tahun 2004-2009, kemudian dilanjutkan pada tahun 2009-2014 dan 2014-2019. Jadi kegiatan penyelenggaran debat di Indonesia secara formal sudah berlangsung sebanyak tiga kali. Dari setiap penyelenggaran debat tersebut, selalu ditemukan persoalan politik yang mengatasnamakan kelompok atau golongan, ras, agama, dan lain sebagainya untuk menyerang lawan politik. Untuk itu, berdasarkan beberapa persoalan yang menyangkut fungsi dan sifat bahasa dalam percakapan politik, setidaknya diperoleh tiga faktor yang melatarbelakangi peneliti untuk menelaah fenomena kebahasaan pada debat calon presiden (capres) di dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, yakni secara empiris, praktik, dan teoretis. 

Fenomena empiris yang menarik perhatian dalam penyelenggaran debat capres tahun 2019 adalah sikap sosial kebahasaan para capres, keterlibatan media dalam proses pemenangan capres, dan kondisi politik dan sosial kemasyarakatan. Beragam konten kebahasaan para capres yang bersifat persuasif dan eufemisme, justru memunculkan sikap fanatisme berlebihan pada masyarakat. Masyarakat Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam massa atau koalisi pro dan kontra terhadap kedua capres. Hal serupa terjadi pada komunitas terkecil dalam masyarakat, yakni kehidupan keluarga (rumah tangga). Para anggota keluarga terbelah menjadi dua kubu akibat berbeda sikap dan persepsi terhadap para capres. Akademisi sekaligus pemerhati politik, Purba (Okezone, 23/3/18) menggambarkan fenomena ini dalam tajuk berita media nasional dengan judul “Berperang dengan Saudara Sendiri” yang intinya menyinggung konflik horizontal masyarakat Indonesia akibat pengaruh Pilpres tahun 2019. Keterlibatan media dalam memainkan isu politik untuk mengunggulkan atau melemahkan salah satu capres semakin memperburuk situsasi pilpres tahun 2019. Media cenderung mengintervensi dan menggiring persepsi pemilih melalui bahasa-bahasa politik. Eriyanto (2012:32) bahwa media hanya dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokkan kelompok lain. 

Fenomena praktis dalam penyelenggaraan debat capres tahun 2019 yang menarik perhatian peneliti adalah praktik berbahasa para capres, prosedur pelaksanaan debat, dan mekanisme penyiaran debat pada media televisi. Strategi berbahasa kedua capres cenderung memanfaatkan pengalaman pribadi untuk membangun bangsa. Isi pembicaraan para capres sebagian besar bersumber dari bukti survei menurut tim ahlinya sendiri tanpa adanya pembanding, sehingga dapat menimbulkan klaim subjektif. Kegiatan debat capres diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diawasi langsung oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Penyiaran debat capres haruslah mendapat pengawalan dari masyarakat. Dalam hal ini, peneliti berkewajiban melakukan pemantauan dan penganalisisan, khususnya terhadap mekanisme penyelenggaraan acara yang dibiayai negara. Sikap peneliti mengontrol tayangan debat didasarkan pasal 17 ayat 2 dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 tentang peran serta masyarakat dalam mengawasi penayangan media, termasuk cetak dan elektronik.

Fenomena teoretis yang mendorong peneliti menganalisis debat capres tahun 2019 adalah skema pengalaman linguistik dan kekurangan beberapa penelitian terdahulu. Halliday (2014:13) menyatakan dalam kajian Linguisti Fungsional Sistemik, pengalaman linguistik bermula dari pengalaman non-linguistik yang dikomunikasikan oleh partisipan yang selanjutnya disebut sebagai teks. Keberadaan teks tidak dapat dimaknai tanpa kehadiran konteks. Untuk itu, pengalaman linguistik dalam kajian Linguistik Fungsional Sistemik terbentuk dari teks dan konteks dengan unsur analisis meliputi: jenis, cakupan, nilai, dan orientasi. Dalam pada itu, penelitian beberapa tahun terakhir mengenai kajian teks dan konteks berdasarkan teori Linguistik Fungsional Sistemik, seperti: Bhattarai,et.al. (2018), Potter (2016), Ajilore (2015), Koussouhon & Dossoumou (2015), dan Benoit & Airne (2005) Dari kelima penelitian tersebut terdapat celah yang belum pernah ditelaah peneliti sebelumnya, yakni skema debat yang memuat tingkat – dominasi dan jangkuan klausa berbahasa berdasarkan kajian teori Linguistik Fungsional Sistemik.

Konsep metodologis kelima penelitian di atas, sebagian besar mengacu pada konsep pemikiran J.R. Firth yang paling berpengaruh di Eropa. Pemikiran Firth banyak dipengaruhi oleh beberapa teori linguistik struktural Saussure, Hjemslev, Malinowski, dan Aliran Praha (Sinar, 2012:14). Pandangan Firth berusaha mencermati bahasa dalam penggunaannya dan mencermati fungsi atas dasar berbagai sistem dalam bahasa. Hal ini lah yang dikembangkan oleh para Aliran Praha yang memandang fungsi bahasa berasal dari bentuk, sistem (struktur) yang saling berhubungan, saling menentukan satu sama lain, dan berstrata (Young, 2011:625).

Kebaruan penelitian ini untuk menganalisis skema berbahasa dan jangkuan berbicara kedua capres berdasarkan sistem transitivitas yang meliputi analisis teks berupa proses, partisipan, dan sirkumstan. Ketiga unit analisis sistem transitivitas memiliki elmen analisis, seperti: (1) proses meliputi analisis material, mental, relasional, tingkah laku, verbal, dan wujud, (2) partisipan meliputi partisipan utama (partisipan I dan II) dan partisipan lain, dan (3) sirkumstan meliputi rentang waktu dan tempat, lokasi waktu dan tempat, cara, lingkungan, sebab, pandangan, masalah, dan sumber. Keseluruhan analisis sistem transitivitas, selanjutnya dipaparkan berdasarkan piranti analisis yang memiliki sifat proses berealisasi tinggi – rendah, sifat partisipan tunggal dan jamak, inklusif dan eksklusif. Kemudian analisis konteks digunakan untuk menyelidiki motif ideologi di dalam teks debat capres berdasarkan konteks situasi dan budaya.

Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini untuk mendapatkan skema dan jangkuan klausa pernyataan dari sistem pemaparan pengalaman linguistik capres Prabowo Subianto dan capres Joko Widodo pada teks debat capres Republik Indonesia periode 2019 – 2024. Dalam pada itu, pemaparan pengalaman linguistik bertujuan untuk mendeskripsikan sistem transitivitas yang meliputi analisis proses, partisipan, sirkumstan, dan jangkuan dari ketiga elemen analisis sistemik. Penggunaan jangkuan pada analisis proses, partisipan, dan sirkumstan dapat merefresentasikan fokus dan arah kebijakan kedua capres. 
Berdasarkan fenomena empiris, praktis, dan teoretis di atas, penelitian ini menjadi sangat menarik untuk ditelaah berdasarkan teori Linguistik Fungsional Sistemik. Peneliti melakukan analisis terhadap fungsi pemaparan pengalaman linguistik.

Selanjutnya, peneliti menganalisis muatan ideologi berdasarkan konteks sosial pada teks. Kehadiran penelitian dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan memetakan skema dan jangkuan pembicaraan pada teks debat capres tahun 2019. Di samping itu, telaah teks debat politik berdasarkan teori Linguistik Fungsional Sistemik belum pernah dilakukan para peneliti terdahulu, sehingga kehadiran penelitian diharapkan menjadi salah satu formula analisis dan tambahan variasi terhadap metode penelitian kewacanaan, khususnnya terhadap teks lisan, seperti teks debat capres.

LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIK SEBAGAI ALAT INVESTIGASI WACANA
TLFS merupakan suatu model pengkajian linguistik yang diperkenalkan oleh M.A.K Halliday (1985;1991;2004;2014) dari Universitas Sydney – Australia. Halliday banyak mendapat pengajaran teori linguistik dari linguis Eropa, seperti J.R. Firth (Inggris). Perkembangan pandangan Halliday banyak mendapat masukan dari prinsip linguistik Aliran Praha. Young (2011:625) menjelaskan pandangan Aliran Praha terhadap beberapa hal dalam teori linguistik, yaitu: (a) pandangan terhadap bahasa sebagai suatu jaringan yang saling berhubungan, (b) pandangan bahasa sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem yang bertingkat atau berstrata, (c) penekanannya lebih pada aspek fungsi bahasa, dan (d) adanya pandangan bentuk berasal dari fungsi. Fokus utama TLFS terletak pada relasi bahasa dengan konteks. TLFS didasarkan pada dua konsep dasar yang membedakannya dengan teori linguistik lainnya, yakni; (a) bahasa merupakan fenomena sosial yang berwujud sebagai semiotik sosial dan (b) bahasa merupakan teks yang berkonstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial, sehingga kajian bahasa tidak pernah terlepas dari konteks sosial. Pembahasan TLFS sampai saat ini telah dijelaskan di dalam empat edisi terakhir buku karya Halliday (1985; 1991; 2004; 2014).

Halliday (2004:1) menjelaskan bahwa teks haruslah diperhatikan pada dua visi utama; 1) fokus pada teks sebagai objek dalam dirinya sendiri dan 2) fokus pada teks sebagai alat untuk mencari tahu tentang sesuatu yang lain. Artinya, teks dapat menyatakan dirinya melalui isi teks tersebut dan setiap teks dapat mendorong seseorang untuk memahami makna di luar teks, yaitu konteks. Realisasi pengalaman non-kebahasaan menjadi pengalaman kebahasaan (linguistik) yang kaitannya bahasa sebagai alat interaksi disebut sebagai metafungsi bahasa. Saragih (2006:6) menjelaskan bahwa metafungsi bahasa sebagai fungsi dasar bahasa dalam pemakaiannya oleh penutur bahasa.

Bahasa memiliki peran untuk merealisasikan pengalaman linguistik seorang penutur. Ragam pesan dan makna, baik tersurat maupun tersirat, dapat termuat di dalam bahasa penutur. Halliday (1991:xiii); Eggins (1994:3); Sinar (2012:27) menyatakan bahwa metafugsi bahasa terdiri atas tiga bagian, yakni fungsi pemaparan, pertukaran, dan perangkaian atau pengorganisaian. Dalam pada itu, sesuai dengan penelitian ini, bagian metafungsi bahasa yang menjadi fokus peneliti adalah sistem pemaparan pengalaman linguistik memlalui analisis transitivitas teks. Analisis ini kemudian mengamalami proses adaptasi menjadi alat identifikasi teks kewacanaan, seperti TDC tahun 2019.

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan pengalaman linguistik oleh capres PS dan JW memiliki skema dan jangkuan transistivitas berbeda. Letak perbedaan pada skema dan jangkuan penggunaan proses, partisipan, dan sirkumstan. Adapun skema dan jangkuan pemaparan pengalaman linguistik oleh kedua capres pada TDC I dan II.
Skema dan jangkuan proses: a) Skema proses berealiasi tinggi memuat komposisi pernyataan yang tidak berbeda dari kedua capres, yakni: tingkah laku, wujud, material, dan mental. Namun dari tingkat penggunaan proses menunjukkan perbedaan, yakni capres JW lebih mendominasi penggunaan proses berealiasi tinggi dibandingkan PS. b) Skema proses berealiasi rendah memuat skema pernyataan yang sama. Komposisi pernyataan kedua capres berealiasi rendah dengan urutan: relasional identifikasi, relasional milik, relasional atributif, dan verbal. Kemudian berdasarkan jumlah penggunaan, PS lebih mendominasi pernyataan dengan proses berealisasi rendah dibandingkan JW. Dengan demikian, PS dan JW memiliki skema proses yang sama dan tingkat penggunaan proses yang berbeda. JW lebih mendominasi penggunaan proses berealiasi tinggi, sedangkan PS hanya mendominasi penggunaan proses berealisasi rendah. c) Jangkuan proses berealisasi tinggi oleh kedua capres menunjukkan perbedaan, PS memiliki jangkuan berupa proses: 1) material membangun, bekerja, mengamankan, dan mempertahankan, 2) mental: mengerti, bayangkan,dan butuh, 3) tingkah laku: membiarkan, mengamankan, yakinkan, dan bersahabat, 4) wujud: meningkatkan, bocor, dan ada. Kemudian JW memiliki jangkuan proses: 1) material: membangun, memberikan, dan dilatih, 2) mental: kira, menghormati, dan mengedepankan, 3) tingkah laku: melakukan, hemat, lakukan, dan kerjakan, 4) wujud: mengurangi, meningkatkan, dan ada.   

Skema dan jangkuan partisipan menujukkan: a) skema tingkat penggunaan partisipan oleh kedua capres. Penggunaan partisipan I pada TDC I menunjukkan bahwa Capres PS lebih banyak memosisikan partisipan I sebagai ‘maujud’, sedangkan JW lebih dominan meosisikan partisipan I sebagai ‘petingkah laku’. Kemudian, pada TDC II, PS dan JW sama-sama cenderung memosisikan partisipan I sebagai ‘petingkah laku. Selanjutnya, pemosisian partisipan II oleh kedua capres menujukkan bahwa PS danJW sama-sama menepatkan partisipan II sebagai ‘gol’ pada TDC I dan II. b) Jangkuan penggunaan partisipan: a) Partisipan utama terdiri dari dua jenis, yakni tunggal dan jamak. Penggunaan partisipan tunggal oleh PS dan JW pada TDC I dan II cenderung menggunakan partisipan tunggal inklusif insani, sedangkan penggunaan partisipan jamak pada kedua capres menunjukkan PS cenderung menggunakan partisipan jamak inklusif insani, sedangkan JW menggunakan partisipan jamak inklusif non-insani. b) penggunaan partisipan lain menunjukkan bahwa JW lebih mendominasi penggunaan partisipan lain dibdandingkan PS.

Skema dan jangkuan sirkumstan menunjukkan penggunaan sirkumstan oleh capres PS terdiri dari sirkumstan cara, lokasi tempat, peran, lokasi waktu, sumber, lingkungan, penyerta, sebab, masalah, rentang waktu, pandangan, dan rentang tempat, sedangkan pada capres JW meliputi: sirkumstan cara, lokasi tempat, peran, sebab, lokasi waktu, penyerta, sumber, lingkungan, masalah, rentang tempat, dan pandangan.***

TerPopuler