Pulang ke Bone : Rindu yang Menemukan Jalan Pulang

BONETERKINI.COM - Dua puluh tiga tahun merantau di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, bukanlah waktu yang singkat untuk menguji jarak dan rasa. Di perantauan, rindu tumbuh diam-diam seperti padi di musim hujan terlihat tenang, tapi dalamnya tak terukur. 

Ketika kesempatan pulang kampung datang, meski hanya tiga malam, rasanya seperti menghirup kembali udara pertama yang pernah mengisi dada. Ada ibu, saudara, dan handai taulan yang menunggu, dan rindu yang selama ini menumpuk pun menemukan pelabuhan.

Kampung halaman telah banyak berubah. Jalanan yang kami lewati, kini mulus bagai permadani hitam yang memandu setiap langkah kendaraan. Rumah-rumah penduduk berdiri lebih modern, tegak di antara kebun dan sawah yang tetap setia menghijau. Usaha-usaha masyarakat berkembang, memberi tanda bahwa waktu di sini bukan hanya berjalan, tapi juga berbuah.

Perjalanan menuju Kota Watampone dari kampung halaman sejauh lima puluh kilometer kali ini terasa istimewa. Bulan Agustus telah tiba, dan di sepanjang jalan nuansa merah-putih berkibar, menyapa setiap mata yang melintas. 

Saat akan melewati Sumpang Labbu, sebuah terowongan peninggalan Belanda, menuju Bone, pemandangan gunung hijau terbentang bak lukisan alam. Jalan yang mulus ditemani cahaya lampu tenaga surya di malam hari memberi rasa aman sekaligus romantis tak lagi ada gelap yang menakutkan, hanya keindahan yang menenangkan.

Memasuki wilayah Palakka, pintu gerbang khas Bone menyambut dengan gagah. Songkok Recca penanda jati diri Bugis terpahat di sana. Meski dikenal luas di tanah Bugis, songkok ini lahir dari tangan-tangan terampil pengrajin Bone, menjadi simbol kebanggaan yang melampaui batas waktu.

Watampone kini bagai kota yang tengah beranjak dewasa. Jalanan utama melebar, gedung-gedung pemerintahan berdiri megah, sarana ibadah terawat, dan rumah-rumah penduduk berwajah baru. Lalu lintasnya ramai, tapi kotanya bersih, menyimpan aura beradat yang menjadi identitas. Dari tepi Teluk Bone, Watampone memantulkan cahaya sebagai salah satu kota penting di jazirah timur Sulawesi.

Ada dua alasan utama yang menuntun langkah ke kota ini: mengantar ponakan yang menikah ke rumah mertuanya, dan menghadiri reuni mantan pengelola Tabloid Bonepos. Dua acara berbeda, namun sama-sama menghangatkan hati. Tanggal 3 Agustus 2025 menjadi hari penuh cerita, tawa, dan temu kangen.

Meski dulu, di tahun 2000–2001, pernah tinggal di Watampone, kini saya nyaris tak mengenali jalur-jalur utamanya. Dua puluh tiga tahun ternyata cukup untuk mengubah peta dalam ingatan. Namun, ada satu hal yang tak berubah: keramahan sahabat dan handai taulan. Senyum tulus, candaan hangat, dan pelukan persaudaraan menyatukan kembali jarak yang pernah terbentang.

Sore itu, setelah empat jam berbagi cerita dan kenangan, saya kembali ke Pising, seterusnya bersiap kembali ke Nunukan Kalimantan Utara melanjutkan Asa yang tersisa.  

Senja menggantung di langit, dan di hati tersimpan sejuta kesan. Pulang ke Bone bukan sekadar perjalanan kembali ke tanah kelahiran, tetapi juga perjalanan kembali ke diri sendiri ke tempat di mana rindu dan cinta selalu menemukan jalannya pulang.

Terima kasih, Watampone. Terima kasih, sahabat.Ada rindu yang selalu membuncah untuk bersamamu.

Komentar

Berita Terkini